"Triple Steps Solution" Upaya Nyata Meningkatkan Ketahanan Energi dan Perekonomian Nasional
Sumber : Hardiansyah Nur Sahaya
Permasalahan energi merupakan persoalan yang terus berkembang di Indonesia. Peningkatan permintaan energi disebabkan oleh tingginya pertumbuhan populasi penduduk dan semakin pesatnya perkembangan industri. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang menghadapi persoalan energi yang serius akibat dari ketergantungan yang sangat besar terhadap energi fosil. Energi fosil khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama yang digunakan di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia jumlahnya terbatas. Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk (Kepmen, 2009). Dengan demikian sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi selama ini semakin terkuras, karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumberdaya alam yang tidak terbarukan, misalnya minyak bumi, gas, dan batubara. Berdasarkan hasil kajian energi yang dilakukan oleh Komite Nasional-Word Council (2009) diprediksikan bahwa sumber minyak bumi di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan akan habis masing-masing pada tahun 2018, 2014, dan 2017 (Miranti, 2009).
Seperti diketahui Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam, termasuk sumber daya energi. Namun, untuk sumber daya minyak bumi, jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan negara lainnya yang memiliki potensi minyak bumi. Pada tahun 2011 Indonesia memproduksi minyak sebesar 329 juta barrel, mengekspor minyak mentah 132 juta barrel. Mengimpor minyak mentah 99 juta barrel dan BBM 182 juta barrel, serta mengkonsumsi BBM 479 juta barrel. Secara total, Indonesia defisit sebesar 150 juta barrel, cadangan terbukti minyak Indonesia, hanya 3,7 miliar barrel atau 0,3 persen cadangan terbukti dunia (Kompas, 27 Februari 2011). Selain itu kondisi Indonesia saat ini sudah termasuk negara pengimpor minyak bumi yang cukup besar. Disaat bersamaan, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat seiring pertambahan populasi dan perkembangan industri. Secara nominal, belanja subsidi untuk BBM dalam APBN 2012 diperkirakan mencapai Rp 225 triliun atau sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah. Sebagian besar dari alokasi belanja subsidi tersebut akan disalurkan untuk subsidi energi, dengan rincian Rp 137 triliun untuk subsidi BBM, Rp 65 triliun untuk subsidi listrik, serta cadangan risiko fiskal Rp 23 triliun (Kompas, 21 May 2012).
Demikian pula dengan nilai subsidi listrik untuk rumah tangga yang diperkirakan mencapai Rp 89 triliun atau melewati anggaran APBN-P 2012 sebesar 65 triliun. Penyebab utama dari kondisi ini adalah terlambatnya pembangunan beberapa PLTU berbahan bakar batu bara yang akhirnya dikonversi dengan penggunaan bahan bakar yang lebih mahal. Akibatnya, rata-rata biaya pokok produksi (BPP) listrik untuk rumah tangga semakin besar. Sehingga pemberian subsidi listrik dari pemerintah terus membengkak hal ini di karenakan harga jual tenaga listrik dari PLN kepada pelanggan tidak tertutup BPP. Disamping hal itu distribusi energi listrik untuk rumah tangga belum merata. Menurut data dari PT. PLN sampai dengan akhir tahun 2010 pendistribusian listrik di Indonesia baru mencapai 65%. Hal ini menunjukan masih terdapat 35% penduduk Indonesia yang belum menikmati aliran listrik. Pertumbuhan pembangunan jaringan listrik juga masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Wilayah bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan rasio elektrifikasi paling rendah dibandingkan wilayah lain.
Dalam konteks permasalahan energi sebagai penyokong kemajuan bangsa, hal ini sebenarnya dapat diamati lewat keseriusan pemerintah dalam membuat sebuah strategiroadmap untuk mencapai ketahanan energi nasional. Setidaknya ada tiga langkah solusi yang dapat dilakukan dalam menyokong pemenuhan energi untuk kebutuhan listrik rumah tangga, industri, maupun bahan bakar kendaraan berotor. Berikut tiga langkah solusi yang aplikatif sebagai suatu upaya untuk mewujudkan ketahanan energi yang akan berdampak bagi pertumbuhan dan pembangunan perekonomian nasional.
1. Kebijakan energi
Menipisnya cadangan energi fosil di Indonesia dan kenyataan yang harus diterima bahwa pemakaian energi berbahan dasar dari fosil telah menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan energi di Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya untuk menggalakkan pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan yang dimiliki Indonesia melalui kebijakan pemerintah. Sebagai contoh adalah memaksimalkan Perpres No 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Dari kebijakan ini kemudian lahirlah beberapa kebijakan turunan yang disebut dengan bauran energi nasional atau National Energy Mix of Indonesia 2025. Dengan memaksimalkan kebijakan tersebut negara Indonesia mampu mengembangkan sumber energi alternatif baru terbarukan yang ekonomi, aplikatif, serta efisien. Negara Indonesia memiliki potensi dan cadangan energi baru terbarukan yang sangat besar. Seperti energi surya yang berlimpah dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 atau setara 112.000 GWp per hari di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia untuk kawasan Barat Indonesia mencapai 4,5 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 10%, sementara itu untuk Kawasan Timur Indonesia sekitar 5,1 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Memiliki potensi untuk kapasitas listrik di Indonesia sebesar 25 MW.
Energi panas bumi (geothermal) mencapai sekitar 28.000 MW dengan potensi sumber daya 13440 MW dan reserves14.473 MW tersebar di 265 lokasi di seluruh Indonesia. Dari potensi sebesar tersebut, 4% atau 1.189 MW telah dimanfaatkan energinya untuk pembangkitan tenaga listrik dengan kapasitas terpasang terbesar berada di daerah Jawa Barat yaitu sebesar 1057 MW (20% dari cadangan), kemudian diikuti oleh Jawa Tengah 60 MW, Sulawesi Utara 60 MW dan Sumatera Utara 12 MW.
Energi air (hydropower) memiliki potensi sebesar 75,67 Gw, hingga saat ini baru di manfaatkan sebesar 4,2 Gw (5,55%) dari seluruh potensi hydropower yang ada di Indonesia. Selain ketiga energi tersebut masih terdapat energi angin, energi gelombang laut, biomassa, biotanol, dan sebagainya. Jika seluruh energi alternatif tersebut dimaksimalkan melalui kebijakan atau regulasi yang detail maka akan menjadi gerakan kemandirian energi baru terbarukan yang sistemik. Tentu hal tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan energi listrik rumah tangga dan industri mengingat beratnya permasalahan yang terkait dengan pembangkitan listrik berbahan bakar fosil.
Disisi lain pemerintah harus memaksimalkan kebijakan konversi dari pengunaan BBM ke BBG untuk kebutuhan transportasi. Program konversi atau pengalihan pengunaan BBM ke BBG harus menjadi program utama nasional, sebagai upaya dapat mengurangi ketergantungan pada BBM, dan kemudian beralih ke gas, terutaman di sektor transportasi. Tahun 2012 pemerintah telah membangun 33 stasiun pengisian gas baru dan 8 stasiun akan di revitalisasi. Sebagai langkah awal pemerintah membagikan 15 ribu converter kit atau alat konversi BBM ke BBG bagi angkutan umum secara bertahap, dan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang.
2. Perbaikan iklim investasi di bidang energi
Sampai saat ini, situasi investasi dalam bidang energi di Indonesia masih belum sepenuhnya stabil sehingga membuat investor enggan menginvestasikan uangnya di Indonesia. Rendahnya kualitas kepastian hukum, permasalahan tanah, birokrasi yang rumit dan sulit serta rendahnya infratruktur energi di Indonesia menjadi kendala untuk pengembangan investasi energi. Iklim investasi yang belum kondusif akan menghambat pengembangan industri energi. Pengembangan industri energi memerlukan investasi dalam jumlah yang besar. Dalam setiap tahun, dana yang diperlukan untuk mengelola industri migas diperkirakan mencapai US$ 5-6 miliar. Sedangkan untuk menjamin pasokan listrik yang andal sampai dengan tahun 2010 diperlukan pendanaan kurang lebih US$ 34 miliar. Ketersediaan pendanaan pemerintah untuk sektor energi semakin terbatas, sehingga partisipasi investor swasta semakin dibutuhkan.
Untuk memperbaiki iklim investasi di bidang energi pemerintah dapat melakukan tax holiday untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi. Tax holiday akan diperoleh investor yang berinvestasi minimal Rp 1 triliun dan menempatkan dana minimal 10% dari total rencana investasi di perbankan Indonesia. Fasilitas ini dapat diberikan antara lima sampai sepuluh tahun serta pemerintah memberikan pengurangan pajak sebesar 50% selama dua tahun (Business News, 03 Nov 2012). Demikian pula dengan perbaikan sarana dan prasarana (infrastruktur), dengan cara mengembangkan infrastruktur energi yang terpadu terutama di daerah yang tingkat konsumsi energinya tinggi.
Infrastruktur BBM meliputi kilang minyak, depot BBM, pipa BBM, dan SPBU; infrastruktur penyaluran gas meliputi pipa transmisi, terminal LNG dan fasilitas regasifikasinya, sarana pengangkutan CNG, kilang LPG, pipa distribusi dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG); infrastruktur batubara meliputi sarana penimbunan dan transportasi batubara; serta infrastruktur tenaga listrik meliputi pembangkit, transmisi dan distribusi. Perbaikan infrastruktur dapat dilakukan melalui kemitraan pemerintah dan swasta (Public Private Partnership) hal ini dikarenakan sampai pada tahun 2014 nanti, pemerintah pusat hanya mampu menyuplai 75%, pemerintah daerah menyuplai sebesar 28% dari total pembangunan infrastruktur. Sedangkan 25% pembangunan infrastruktur akan dipenuhi oleh swasta (Bappenas, 2010).
3. Penguasaan teknologi untuk energi
Berbagai penguasaan teknologi energi hijau (green technology) diperkirakan akan berkembang secara komersial dan kompetitif terhadap energi konvensional. Teknologi sel bahan bakar akan diproduksi secara komersial yang dapat menggantikan pembangkit listrik skala kecil. Teknologi nuklir fisi yang baru akan berkembang sehingga berpotensi untuk lebih banyak dimanfaatkan. Teknologi energi yang terus di kembangkan Indonesia yaitu hidrogen, Ocean Thermal Energy Conversion(OTEC), MagnetoHydro Dynamics (MHD). Dimethyl Ether(DME), Gas to Liquid (GTL), OilShale, sel bahan bakar, bio diesel, Coalbed Methane (CBM) dan CoalLiquifactiondiperkirakan mempunyai potensi sebagai energi baru. Peran badan pengembangan dan penerapan teknologi (BPPT) serta riset teknologi (RISTEK) telah mengembangkan teknologi seperti LNG (Liquid Natural Gas) dan CNG (Composed Natural Gas) untuk kendaraan bermotor. Sebenarnya kunci dari penguasaan teknologi adalah meningkatkan kembali research and development (R&D) sebuah energi alternatif tanpa meninggalkan kondisi sosial, ekonomi, hukum, lingkungan, dan politik di dalam masyarakat negeri ini. Hal ini dapat dipicu lewat pengembangan kreativitas riset berbagai perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia yang memiliki fokus pengembangan energi alternatif. Lima puluh tiga tahun yang lalu Ibnu Sutowo sebagai pemimpin pertamina telah mengantarkan produksi minyak Indonesia meningkat dari yang tadi tadinya hanya memproduksi 350 ribu barel/hari menjadi 1,7 juta barel/hari melalui riset (Jurnal Nasional, 26 Juli 2012).
Secara substansi ketiga langkah solusi tersebut merupakan sebuah strategi yang aplikatif untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Dalam jangka panjang, diyakini akan berdampak pada penyehatan dan kesinambungan APBN. Kestabilan perekonomian nasional akan terjamin, sehingga pada akhirnya keyakinan dan kepercayaan investor akan pulih kembali dan kondisi pasar keuangan serta pasar modal akan bergairah. Indeks harga harga saham gabungan (IHSG) akan meningkat dan mata uang rupiah juga akan menguat khususnya terhadap dolar AS.